Cikal Bakal Desa Tertua Dengan Sejarah Punden Parigi.
Tersebutlah Desa Banyuurip, Kecamatan Banyuurip yang digadang-gadang sebagai desa tertua di Kabupaten Purworejo. Bahkan, konon desa itu lebih tua dan sudah ada jauh sebelum Kota Purworejo berdiri, yakni pada zaman pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Singkatnya dalam kisah babad Banyuurip yang ditulis turun temurun, menceritakan, zaman dahulu kala ada seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dari selir, raja tersebut memiliki seorang putera bernama Pangeran Joyokusumo dan seorang putri bernama Galuhwati.
Pada suatu hari raja mengadakan rapat besar. Kemudian raja mengutus Patih Gajah Mada untuk mencari Pangeran Joyokusumo, sebab hanya dia yang tidak menghadiri rapat. Setelah dicari, ternyata sang pangeran justru pergi mencari belalang untuk makan gemak atau burung puyuh kesayangannya. Akibatnya, Raja mengusir putranya tersebut.
Nyi Putri Galuhwati dan Pangeran Joyokusumo dalam perjalanannya diusir dari Majapahit karena Pangeran Joyokusumo tidak mau menghadap ayahnya dalam pertemuan kerajaan dan hanya bermain adu burung puyuh. Burung itu diberi nama si Kebrok. Karena kesaktiannya, maka burung tersebut sering diadu dengan burung lain. Konon si Kebrok dapat mengalahkan seekor harimau.
Siang malam kedua kakak beradik tersebut melintasi hutan belantara dan suatu ketika sampai di daerah ini. Karena kehausan, adiknya yaitu Galuhwati minta air. Seketika Pangeran Joyokusumo mencabut keris pusakanya yang bernama Kyai Dhalang (versi lain menyatakan bernama Panubiru) dan menancapkannya ke tanah sehingga keluar air. Air tersebut kemudian digunakan untuk minum dan mandi. Karena air itu menyegarkan kembali dan memberi kehidupan (urip) pada warga sekitarnya, maka daerah tersebut diberi nama Banyu Urip. Tempat pertapaan Pangeran Joyokusumo disebut Punden Perigi, yang berarti dimurugi (didatangi dari jauh yaitu Majapahit) menuju tempat itu.
Inilah singkat cerita desa tersebut di beri nama Banyuurip.
Disana terdapat sebuah cagar budaya yakni salah satu petilasan atau pepunden yang disebut sebagai Punden Parigi. Pepunden ini menyimpan kisah menarik tentang peradaban pertama di desa ini.
Pepunden ini berbentuk joglo dengan lantai keramik. Di dalamnya terdapat batu bekas duduk Pangeran Joyokusumo, batu dakon, batu lumpang dan sebuah yoni sebagai tempat menampung air untuk membasuh muka lengkap dengan ubo rampe berupa dupa dan bunga-bunga.
Punden Perigi atau punden batu merupakan bangunan joglo kecil yang berukuran 3,2 m x 3,2 m berlantai ubin putih yang digunakan sebagi tempat pertapaan seorang pangeran yang berasal dari Majapahit (menurut babad Banyu Urip). Di dalam bangunan tersebut terdapat batu bekas tempat duduk Pangeran Joyokusumo, batu lutut, batu dakon, batu lumpang dan sebuah yoni sebagai tempat menampung air untuk membasuh muka (yang oleh sementara orang dipercaya dapat mendatangkan berkah). Pada sebelah barat punden Perigi terdapat bangunan berukuran 8 m x 16 m yang sering digunakan untuk pertunjukan wayang kulit oleh penduduk setempat sehabis panen musim kemarau. Pertunjukan tersebut merupakan ungkapan syukur masyarakat setempat atas keselamatan dan hasil panen yang diperoleh.
Punden Parigi sendiri berarti ganda. Parigi yang pertama berarti sumur. Yang kedua jika di eja pa ri dan gi, pa yakni paran (tempat yang jauh) ri yakni ring/sing dan gi yakni purugi atau tempat yang dituju. Jadi parigi sendiri mengandung arti tempat jauh yang didatangi.
Masyarakat luar daerah hingga mancanegara masih sering berziarah ke petilasan tersebut. Dengan membawa beberapa harapan mulai dari naik pangkat, ingin mendapatkan jabatan dan lain sebagainya. Namun ada sebuah pantangan, bagi mereka yang mendatangi petilasan tidak boleh menginginkan balas dendam, cari nomor togel dan pesugihan.
”Masih terawat dan pengunjungnya banyak juga. Ada yang dari luar negeri. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa melalui perantara yang ada disini,” ujar Sumarno, juru kunci punden.
Sumber :
http://budayapurworejo.blogspot.co.id/2012/04/punden-perigi-banyuurip.html?m=1