Atlantis Indonesia

URIP KUDU PINTER MOCO …

URIP KUDU PINTER MOCO
(Hidup harus pintar membaca)

Renungan dr sahabat GH :

++++++++++++++++++++++++++++++
Wong urip kuwi kudu pinter moco
(Orang hidup itu harus pandai membaca)
Yen bodo ojo koyo khewan
(Kalau bodoh janganlah seperti hewan/binatang)
Umpomo pinter yo jo koyo syetan
(Jikalaupun kamu pintar ya jangan seperti syetan)
++++++++++++++++++++++++++++++

Isyarat di atas sesungguhnya makin menegaskan diri kita agar selalu MAWAS DIRI untuk Nastiti & Waspada membaca Tanda2 baik yang ada pada diri kita sendiri maupun yang ada pada alam sekitarnya (lingkungan).

Dalam sebuah Peradaban Tinggi dan Mulia selalu diisi oleh manusia yang Beradab, bilmaksud bisa membaca Tanda-tanda tsb baik yang TERSURAT maupun yang TERSIRAT.

Gunung Padang merupakan salah satu bukti kejayaan masa lampau yang bisa dibaca dari tanda-tanda tersebut agar nantinya kita punya KEPERCAYAAN DIRI yang kuat untuk MENGULANGI Kejayaan masa lampau tersebut.

Tanpa itu kiranya kita hanya menjadi.bangsa PECUNDANG & PENGEKOR saja.

Berita di bawah ini merupakan salah satu sinyalemen akan kebenaran Local Wisdom nuhsantara agar nantinya kita tidak terjebak oleh olah pikiran.kita sendiri. Lebih-lebih TERSANDERA oleh keilmuwan kita sendiri akibat kurangnya Baca Diri

Salam, 🙏🙏🙏.

++++++++++++++++++++

Pusat Arkeologi Nasional: Tak Ada Piramida dan Peradaban Atlantis di Nusantara!!!

“Sayang sekali, kita sebenarnya menginginkan piramida dan atlantis itu ada di negeri ini,” ungkap Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional, ”Tapi kenyataannya tidak ada bukti arkeologi, sehingga kita juga tidak ingin mengada-ada.”

Pernyataan itu disampaikan Simanjuntak pada seminar bertajuk “Rembug Situs Gunung Padang”, Kamis (29/3) di Gedung Pusat Arkeologi Nasional, Pejaten.

Simanjuntak mengkritik Arysio Santos, geolog dari Brazil, yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan lokasi peradaban atlantis yang hilang itu. Menurut Simanjuntak, Santos menggunakan kajian geologi, paleogeografi, dan paleoiklim yang sangat terbatas, tidak menggunakan kajian arkeologi. Bahkan Santos belum pernah berkunjung ke Indonesia. Inilah diantaranya yang menyebabkan banyak kerancuan dalam pendapat Santos soal lokasi atlantis yang hilang itu.

Dalam menanggapi pendapat adanya peradaban atlantis (12.000 tahun lalu) dan piramida (4.000 tahun lalu) di Nusantara, Simanjuntak memberikan dua alasan penolakannya.

Pertama, kerangka waktu kemunculan peradaban keduanya bertentangan dengan bukti-bukti arkeologi. Bahwa kurun waktu 12.000–2.000 tahun lalu belum ada peradaban di Nusantara ini, yang ada baru kehidupan berburu dan meramu.

Kedua, Nusantara tidak mengenal bentuk piramida, namun nenek moyang kita membangun punden berundak untuk sarana menghormat roh leluhur. Budaya megalitik sendiri baru berkembang sekitar awal Masehi dan terus berlanjut hingga jauh ke zaman sejarah.

“Situs Gunung Padang tidak ada kaitannya dengan piramida,” ungkap Simanjuntak, “Agaknya dari masa yang jauh lebih muda ketika kehidupan sudah kompleks dan tidak adanya tinggalan dari belasan ribu tahun di dalam bukit”

Dari aspek geologi, Soetikno Bronto dari Pusat Survei Geologi menjelaskan bahwa Gunung Padang adalah leher atau sumbat lava di dalam kawah gunung api purba, berstruktur kekar kolom yang sudah roboh berserakan. Lalu,batu-batu itu ditata oleh manusia sebagai punden berundak untuk pemujaan. Namun karena sebab tertentu mungkin tanah longsor dan gempa bumi lalu ditinggalkan. “Seyogyanya informasi tentang adanya bangunan piramid cukup sebagai cerita fiksi saja untuk penambah daya tarik wisata alam atau wisata geologi gunung api purba.”

Danny Hilman Natawidjaja, yang mempresentasikan temuan Tim Katastropik Purba soal piramida situs Gunung Padang, menyambut baik acara yang menurutnya unik karena dihadiri para pakar dan senior dari berbagai disiplin ilmu. Dia berharap forum ilmiah berbeda dengan forum politik. Politik kadang menemui deadlock karena unsur kepentingan pribadi, namun ilmiah itu bersifat netral. “Asal kita open mind, apapun perbedaan pendapat itu akan ada jalan keluarnya,” tuturnya.

Di akhir acara, forum ini sepakat untuk segera mengembalikan ranah kegiatan penelitian di Gunung Padang dan situs arkeologi lainnya kepada Pusat Arkeologi Nasional. Lembaga yang kini di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu nantinya akan mengkordinasikan penelitian arkeologi yang memerlukan penanganan dari berbagai disiplin ilmu.

Soeroso, arkeolog senior dan mantan Sekretaris Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemenbudpar, mengatakan bahwa dirinya tidak ingin kasus Gunung Padang ini menjadi polemik yang berlarut dan membuat masyarakat menjadi bingung, “Jadi harus ada keputusan bersama untuk berintegrasi dalam penelitian soal situs tersebut sehingga semuanya menjadi jelas,” ungkap Soeroso, “Koordinasi semacam ini tentunya akan lebih menguntungkan ketimbang kita bekerja sendiri-sendiri.”

sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/03/pusat-arkeologi-nasional-tak-ada-piramida-dan-peradaban-atlantis-di-nusantara#

Exit mobile version