Ternyata, Istilah Pedagang Kaki Lima Merupakan Sebuah Kesalahan Terjemahan.
Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah Pedagang Kaki Lima (PKL), yaitu kumpulan pedagang yang berjualan di trotoar jalan. Istilah ini digunakan untuk menyebut para penjaja yang melakukan kegiatan jual beli di daerah milik jalan yang diperuntukkan untuk para pejalan kaki. Para pedagang jenis ini biasanya tersebar di berbagai kota di seluruh penjuru negeri ini, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mobilitas masyarakat.
Nah, dalam kaitannya dengan hal tersebut, pernahkah kita mencari tahu dari mana istilah Pedagang Kaki Lima disematkan? Ada berbagai ragam versi mengenai asal muasal penamaan Pedagang Kaki Lima. Salah satu yang cukup terkenal adalah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan istilah kaki lima adalah karena mereka menggunakan gerobak yang berkaki tiga, ditambah dengan jumlah kaki dari si pedagang yang berjumlah dua maka disebutlah pedagang tersebut berkaki lima. Namun, hal itu tidak bisa dipercaya secara utuh, mengingat bahwa para PKL yang menggunakan gerobak baru “eksis” sejak masa 1980-an, sementara pada masa sebelum itu sudah ada istilah Pedagang Kaki Lima kepada para pedagang meskipun mereka tidak menggunakan gerobak beroda tiga. Bahkan, keberadaan PKL ini sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Diceritakan bahwa pada masa penjajahan, Pemerintah Belanda membuat peraturan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pedestrian atau pejalan kaki, yang saat ini kita beri nama trotoar. Lebar ruas untuk sarana tersebut adalah lima kaki atau satu setengah meter. Di Jakarta, kehadiran Pedagang Kaki Lima bermula ketika Thomas Stamford Raffles, Gubernur Hindia Belanda pada waktu itu memerintahkan sejumlah pemilik gedung di jalan utama Batavia untuk menyediakan ruas jalan khusus pejalan kaki yang lebarnya adalah lima kaki. Sarana pedestrian yang cukup luas disamping jalan raya akhirnya dimanfaatkan oleh warga untuk menggunakannya sebagai tempat untuk menjajakan dagangannya. Adakala mereka menggunakan kesempatan berjualan di ruas jalan tersebut sembari beristirahat.
Lalu, dari mana munculnya penamaan Pedagang Kaki Lima? Ternyata, istilah ini merupakan implikasi dari sebuah kesalahan terjemahan yang dilakukan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Istilah trotoar selebar lima kaki yang dicanangkan oleh Raffles disebut Five Foot Way, dan para pedagang yang berjualan di trotoar tersebut pun disebut sebagai Five Foot Way Trader.
Lantas, ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, istilah five foot rupanya disalahmaknakan sebagai kata majemuk (historia.id). Dalam terjemahannya, hukum Menerangkan-Diterangkan dalam Bahasa Inggris diubah menjadi Diterangkan-Menerangkan sehingga, terjemahan tersebut bukan menjadi lima kaki, melainkan kaki lima. Istilah ini kemudian menjalar ke berbagai kota di seluruh pelosok negeri dan akhirnya hingga saat ini para pedagang tersebut masih saja disebut sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
Sejak saat itu, keberadaan Pedagang Kaki Lima sebagai salah satu penghuni tetap trotoar (yang sebelumnya dikhususkan untuk para pejalan kaki) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia. Dengan adanya PKL di trotoar, terjadilah simbiosis mutualisme antara para pedagang dan para pejalan kaki.
Namun implikasi buruknya adalah dengan semakin banyaknya PKL yang bertebaran di trotoar, jalanan semakin menyempit dan kendaraan serta para pejalan kaki susah untuk mendapatkan akses jalan. Karena itu, pemerintah sedang giat merelokasi para Pedagang Kaki Lima ke suatu area yang lebih memudahkan mereka untuk menjajakan dagangannya sehingga bisa mengurangi resiko kemacetan dan memperindah tata kota.
Sebuah istilah yang menjadi sejarah, sebuah istilah yang menjadi cerita. Itulah sekelumit hal mengenai awal mula nama Pedagang Kaki Lima, yang tanpa kita ketahui sebelumnya bahwa ini merupakan sebuah kesalahan penyebutan yang disebabkan oleh misinterpretasi dalam mengartikan makna bahasa.
Sumber :