Kisah dari Madagaskar: Nenek Moyangku Orang Indonesia.
Nenek moyang orang Madagaskar berasal dari Indonesia.
Pernyataan tersebut bagi sebagian orang terdengar seperti lelucon. Madagaskar, pulau di lepas pesisir timur Afrika, terpisah 8.000 kilometer oleh Samudra Hindia dari Indonesia. Yang satu Asia, yang satu Afrika. Bagaimana bisa jadi kerabat?
Ah, tapi tidak semustahil itu. Apa yang tidak mungkin? Toh bumi bulat dan lautan bisa diseberangi.
Di antara masyarakat Madagaskar yang didominasi suku Malagasy, cerita itu dikisahkan turun-temurun, bahwa orang-orang dari Nusantara datang berabad-abad lampau lewat ekspedisi kapal ke Madagaskar.
Tahun 2015, tak terbayang di benak Fuji Riang Prastowo, peneliti kesenian sekaligus antropolog Universitas Gadjah Mada, tentang bagaimana bentuknya negeri bernama Madagaskar. Saat itu ia telah menggenggam tiket perjalananan menuju ibu kota Madagaskar, Antananarivo, dan telah mendengar slentingan bahwa negara yang akan ia kunjungi memiliki moyang orang Indonesia.
Fuji ketika itu melakukan perjalanan bersama Yayasan Biennale Yogyakarta mengitari negara-negara yang terletak di lintasan khatulistiwa. Ia telah rampung menyambangi India, kemudian bertolak ke Kenya. Dari Kenya-lah perjalanan menuju Madagaskar dimulai.
Imajinasi soal Madagaskar mulai terbangun dari Kenya. Setidaknya Fuji menyangka, orang-orang Madagaskar sama berkulit hitam seperti mereka yang berada di Afrika.
Namun imajinasi itu buyar begitu Fuji mendarat di Antananarivo. Ia mendapati orang-orang Madagaskar memiliki bentuk fisik yang hampir mirip dengan orang Indonesia seperti dia.
Pendaratan Fuji dan rombongan di Antananarivo berujung haru. Dia seperti sedang melihat cermin bangsanya sendiri.
“Bayangan seperti itu nggak pernah saya lihat sebelumnya, di manapun negara yang aku kunjungin. Apa yang saya lihat di Madagaskar itu sama seperti kartu pos zaman Belanda,” cerita Fuji saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Sabtu (10/6).
Kemiripan fisik antara Indonesia dengan Madagaskar pernah dibuktikan lewat sebuah riset. Penelitian Massey University mengungkapkan, akar DNA orang Madagaskar berasal dari Nusantara.
Dikisahkan, 30 perempuan pertama yang mendarat di pulau tersebut berasal dari Indonesia. Mereka tiba pada abad ke-9 Masehi atau lebih dari 1.000 tahun lalu, dan turun-temurun membentuk koloni suku Malagasy.
Menengok kembali ke sejarah Nusantara, pada abad ke-9 dulu, Nusantara dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
“Yang mereka (orang Madagaskar) tahu, nenek moyang mereka datang dari Nusantara. Mereka tidak tahu apakah nenek moyang itu dari Dayak atau Jawa atau suku lain. Karena dulu, waktu nenek moyang mereka tiba, belum ada konsep Indonesia dan Nusantara hanya sekumpulan pulau,” ujar Fuji.
Semakin Fuji menyusuri Madagaskar, semakin dia mendapati bahwa kemiripan Indonesia dan Madagaskar lebih dari sekadar fisik. Fuji sebagai orang Indonesia begitu familier dengan makanan, tempat tinggal, hingga bahasa yang digunakan sehari-hari oleh orang Madagaskar.
Fuji misalnya melihat rumah kuno Madagaskar berbentuk persegi, tidak bulat seperti rumah Afrika pada umumnya. Pada bagian atap rumah, terpasang genting dengan bentuk mirip dengan rumah joglo pada adat Jawa.
Lebih lanjut, Fuji mendapati bahwa rumah tradisional itu menyiratkan arti penghormatan pada kampung halaman. “Dan yang paling terharu, semua bangunan suci dan rumah-rumah menghadap Nusantara sebelun Katolik masuk. Rumah-rumah mereka menghadap Indonesia.”
Tingginya penghormatan terhadap kampung halaman, tak mengherankan bagi Fuji yang menggeluti studi tentang budaya.
“Pada setiap peradaban, ada tiga hal yang akan selalu terus dijaga: nama, bahasa, dan makanan,” kata dia.
Kemiripan Madagaskar dan Indonesia secara linguistik pun tak terelakkan.
“Bahasa Malagsy lebih mirip dengan Bahasa Melayu, tapi tercampur dengan Bahasa Sanskerta zaman dahulu,” ujar Fuji.
Ia mendapati beberapa kata yang cukup akrab di telinga orang Indonesia, digunakan oleh penduduk Madagaskar. Contohnya, “salamat”.
Selain itu, nama-nama orang Madagaskar hampir serupa dengan nama Indonesia. Andry, Hery, Andi, menjadi nama depan yang acap kali ditemui di sana. Baru nama panjang yang memiliki corak lokal, meski masih mirip dengan nama Sanskerta.
Kedekatan budaya semacam itu membuat Bahasa Indonesia digandrungi di Madagaskar. Di Kuasa Utusan Tetap (KUTAP) –perwakilan diplomatik dengan tingkat di bawah kedutaan– misalnya, terdapat sekolah bahasa. Di sana, setiap sore dipenuhi masyarakat.
Orang Madagaskar bahkan didorong mengambil beasiswa Dharma Siswa dan program master di Indonesia.
Ketika Fuji bertanya kenapa orang-orang Madagaskar begitu bersemangat belajar Bahasa Indonesia, jawaban mereka cuma dua: karena ingin ke Indonesia, dan ingin belajar bahasa leluhur.
Ini Belum Lagi Soal Makanan.
Dokumentasi Fuji menunjukkan bahwa rakyat Madagaskar ikut mengidolakan Indomie. Akan tetapi, Indomie baru aspek standar. Di jalan-jalan Fuji ke pasar, ia melihat pemandangan ibu-ibu yang menjual makanan semacam sate.
Fuji menerka, makanan tersebut paling-paling bernama Sate Madagaskar. Si pedagang kemudian berkata, “Dari dulu orang jualan daging ditusuk-tusuk.”
Sudah jelas sate ini adalah bentuk dari kemiripan lain dari budaya kedua negara.
Dengan segala kemiripan dengan Indonesia yang paripurna, Madagaskar terlihat begitu mengagungkan Indonesia. Pada 23 April 2015, Presiden Madagaskar Hery Rajaonarimapaompina menemui Presiden Joko Widodo, meminta pembukaan Kedutaan Besar di Antananarivo.
Saat ini, meski Madagaskar menekankan pada aktivitas perdagangan dan bukan politik, ia memiliki kaitan kultural dengan Indonesia.
“Bayangan orang Madagaskar itu abstrak. Karena mereka nggak peduli mereka datang dari suku apa atau pulau mana. Tidak jelas refleksinya. Di sejarah nasional, mereka merasa sebagai Indonesia,” tutur Fuji.
Bagi orang Madagaskar, Indonesia di atas segala suku, di atas segala perbedaan. Betapa imaji indah yang mengharukan.
Indonesia pun kerap mengulurkan tangan kepada saudara jauh di Madagaskar itu yang diterpa kesulitan pelik. Kondisi dalam negeri Madagaskar memang rumit, dengan masyarakat dilanda kemiskinan parah.
“Mayoritas, 90 persen penduduk miskin,” kata Fuji.
Infrastruktur pun begitu minim. Di ibu kota saja, mencuci masih dilakukan di pinggir sungai. Angka literasi juga begitu rendah. Dan pertanian tak berjalan baik.
“Dulu misi Sukarno adalah menganggap mereka saudara dan mereka butuh bantuan kita,” kata Fuji.
Memahami Madagaskar berarti ikut memahami asal-usul pendahulu kita. Seperti disebut sejarawan Universitas Oxford Inggris, Stephen Oppenheimer, juga sejarawan lainnya, Nusantara dahulu dihuni oleh para petualang pemberani.
Di antara mereka adalah 30 perempuan pelaut yang menantang Samudra Hindia dan akhirnya menemukan Madagaskar.
Sumber :
https://m.kumparan.com/ardhana-pragota/kisah-dari-madagaskar-nenek-moyangku-orang-indonesia