Menyadari Eksitensi Ruh (Part. 3)
pelajari adalah menyadari kita adalah ciptaan-Nya. Kepada sesama ciptaannya, sangat tidak pantas kita saling menilai, karena diatas langit ada langit lagi, kira-kira seperti itulah perumpaan yang sering kita dengar. Siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang tersesat, siapa yang kaya, siapa yang miskin, dan lain sebagainya. Lantas, dengan bagaimana kita menyikapi keberbagai ragaman manusia? Bertakzim merupakan cara manusia yang telah mencapai tingkat kesadaran jauh dari temannya yang lain. Bertakzim memiliki arti yang lebih luas dari hanya sekedar menghargai, tapi juga merendahkan diri dihadapan Sang Maha Pencipta. Jika kemarin membahas tentang menghargai orang lain (bertakzim) setelah kita berdamai dengan diri sendiri (memaafkan kesalahan dimasa lampau dan menjalani hidup penuh kesadaran karena karma itu berlaku), sekarang adalah bagaimana cara bersikap kepada orang lain yang tidak menghargai diri kita.
Kejahatan Adalah Ketiadaan Cahaya
Untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi, karena telah menyadari manusia adalah ciptaan, maka kita tahu, ada zat yang Maha Menciptakan segala sesuatu di dunia ini. Yang Maha Menciptakan dikenal dengan sebutan Tuhan. Tapi anehnya, kebanyakan dari kita percaya dan mengaku memiliki Tuhan, bahkan menjalani segala sesuatu yang dianjurkan untuk menyadari keberadaan Tuhannya (ibadah) tapi perilakunya tidak sesuai dengan prinsip manusia yang telah bersaksi bahwa dirinya adalah ciptaan. Sebagai contoh yang sering terlihat yang katanya mengaku paham betul sifat-sifat Allah Sang Maha Pencipta, tapi hidup seperti tidak dalam kesadaran akan hal tersebut. Mengetahui Allah Maha Melihat, dan Maha Mendengar, tapi sama sekali tidak ada malu untuk berbuat semena-mena kepada makhluk hidup lain.
Jangankan kesana, hal yang paling awal sebelum beriman yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah saja masih banyak diantara kita yang meletakkan Tuhan adalah bukan Sang Maha Pencipta, tapi harta, kekuasaan, kepopuleran, nilai diri, bahkan orang tua. Kita bisa rela melakukan hal apapun bahkan yang haram jadi halal hanya untuk mendapatkan kekuasaan, bahkan tak pernah kita merasa ikhlas melakukan sesuatu kecuali dibayar, dan kita cenderung lebih takut karna tidak patuh kata orang tua bukannya patuh tapi malah takut melebihi takutnya kita kepada Allah.
Ketika manusia sudah sadar dan berhasil mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi, definisi takut itu tidak ada. Takut itu melainkan patuh tapi patuh tidak sama dengan takut, karena takut adalah perasaan yang tidak ikhlas, tidak terima tapi terpaksa, tapi patuh itu telah termasuk kedalamnya pengetahuan dan alasan sehingga kita ikhlas, termasuk rasa merasa kecil tidak ada apa-apanya inilah yang dimaksud takut yang sebenarnya. Rasa itu hanya pantas dialami kepada sesuatu yang jauh lebih Maha kepada seluruh alam semesta, karena ketika berhadapan kepada Sang Maha Segalanya, apa saja bisa sangat mudah terjadi. Tidak ada hal yang pantas ditakuti kecuali Tuhan melainkan takut yang kita rasakan saat ini kepada hal selain-Nya merupakan ajaran/ doktrin yang ditanamkan sejak kecil.
Mau ajaran takut itu sengaja atau tidak disengaja, sikap kita adalah memaklumi yang mengajarkan hal tersebut bukan menyalahkan, karena bagi manusia yang sudah memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari teman-temannya, ia akan menggunakan akal nya untuk berpikir bahwa orang lain juga sama-sama tidak tahu, maka sudah sewajarnya kita memaklumi dan tidak mengulangi ajaran itu kepada anak atau orang lain. Lantas, bagaimana cara kita menyikapi orang lain yang terlihat melakukan keburukan di depan kita?
Pada dasarnya, manusia itu tidak jahat, tapi mereka hanya tidak tahu. Mereka juga sama, bermula dari rasa takut, entah itu takut tidak bisa bahagia, tidak bisa membahagiakan, tidak dapat makan dan minum, dan lain sebagainya. Sehingga mereka bisa berbuat jahat, berbuat licik, memfitnah, melakukan kekerasan dan lain-lain. Tapi karena kita juga tidak tahu, maka kadang kita membalasnya dengan cara yang sama juga, yaitu takut. Tak jarang pula orang-orang membalas perbuatan yang jahat dengan membenci dan menghindar.
Tahukah anda, sebenarnya orang yang berbuat jahat itu ibarat warna hitam? Temuan dasar optik dalam fisika menemukan putih dan hitam bukan warna sebagaimana biru, hijau dan merah. Warna putih dan hitam itu berbeda, melainkan putih merupakan kombinasi antara semua warna spektrum cahaya yang dapat dilihat seperti spektrum cahaya pada warna mejikuhibiniu (Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu), sedangkan hitam adalah ketiadaan spektrum itu. Dengan kata lain, putih merupakan integrasi semua bentuk cahaya yang dapat dilihat, dan hitam adalah ketiadaan cahaya.
Makanya, manusia menyimbolkan warna putih sebagai simbol energi positif. Kita memberi pakaian pahlawan dengan warna putih, apapun yang berhubungan dengan kebaikan selalu di simbolkan dengan warna putih. Kita menyimbolkan keburukan dengan warna hitam. Kita memberi pakaian penjahat dengan warna hitam. Hitam merupakan simbol kerusakan ketika terjadi bencana, kita menyimbolkan dengan warna hitam karena hitam seperti mewakili keputusasaan, kemurkaan, ketiadaan cinta, berkabung dll.
Kita sebut “zaman kegelapan” ketika “cahaya akal” tidak ada.
Kita sebut penderitaan jiwa yang terkoyak sebagai jiwa tanpa cahaya atau “kegelapan dalam ruh”.
Kita sebut neraka adalah kegelapan.
Artinya, secara sendirinya kita telah paham bahwa warna hitam adalah sesuatu yang tidak ada cahaya masuk di dalamnya.
Manusia pancaindera melihat perilaku orang lain yang dinilainya buruk hanya sebatas apa yang terlihat dengan pancainderanya saja. Berbeda dengan manusia sarwaindera, mereka melihat dasar optik dalam fisika itu memang bukan hanya sekedar teori, namun memang terealisasikan dalam kehidupan sehingga menuju kesadaran yang lebih tinggi lebih mudah atau dalam bahasa spiritualnya, pintu untuk masuknya cahaya lebih terbuka lebar bagi manusia sarwaindera. Ketika manusia yang lebih sadar dari teman-temannya ini berbaur dengan orang lain, dia telah memiliki prinsip teguh berdasarkan kebersaksiannya. Sehingga tidak ada rasa takut bahkan jika ancaman itu datang, dia akan melayaninya. Manusia tersebut akan hidup dengan jiwa yang utuh sebagaimana diwakili oleh sinar putih. Jiwa yang kehilangan sentuhan dengan ruh nya, yang telah kehilangan sumber cahaya-Nya (ilmu pengetahuan dan kesadaran bahwa diri ini ada yang menciptakan), merupakan manusia yang memiliki kemampuan berbuat jahat, sebagaimana diwakili warna hitam.
Yang kita sebut jahat adalah ketiadaan cahaya, dan ketiadaan cinta. Manusia dengan keterbatasan kesadaran akan lebih tertarik pada kejahatan. Godaan menempuh kejahatan terasa kuat. Semua manusia akan tergoda, tetapi individu yang sadar penuh karena telah bersaksi dengan merasakan dan melihat sendiri alasannya akan terjaga dari godaan kuat berbuat jahat. Ujian dari-Nya adalah sebagai media termudah yang diberikan Allah untuk maju ketingkat kesadaran yang lebih tinggi. Bisa jadi kemungkinan bahwa manusia yang sudah dalam tingkat spiritual yang tinggi itu bisa turun lagi, karena jika tidak, bukan ujian namanya. Manusia yang memiliki ketiadaan cahaya dalam jiwa nya akan lebih memilih marah daripada mengampuni, atau lebih memilih menyalahkan daripada memahami ketika ujian datang. Lantas, bagaimana seharusnya kejahatan itu dipandang?
Kejahatan bukanlah sesuatu yang mengharuskan kita siap memerangi, menghindari, atau melarang. Memahami kejahatan sebagai ketiadaan cahaya yang artinya ketiadaan itu bisa sembuh dengan kehadiran. Bukan dibalas dengan kejahatan lagi (ketiadaan). Mengapa Rasulullah SAW tidak pernah marah dan dendam kepada orang-orang yang semena-mena pada nya? Malah senantiasa memberi kebaikan (menghadirkan cahaya) kepada umatnya yang tersesat mencari cahaya. Manusia yang kesadarannya lebih tinggi memandang kejahatan itu bukan sifat murni/ lazim manusia, tapi kebimbangan karena gelap, tidak mampu menyentuh kekuatan ruh nya karena cahaya nya saja tidak dapat masuk karena sudah dibalas dengan kejahatan lagi oleh orang lain.
Menghadapi kejahatan juga jangan dibalas dengan membenci, dengan membenci, anda tidak menyumbang pada kehadiran cahaya, malah menyumbang semakin gelap. Kebencian kepada kejahatan malah akan meningkatkannya bukan mengurangi kejahatan.
Memahami kejahatan sebagai ketiadaan cahaya tidak mengharuskan anda menjadi pasif, cuek, mengabaikan tindakan kejahatan, pura-pura tidak peduli dll. Karena, jika anda melawan kegelapan tanpa belas kasih sebenarnya anda sendiri sedang memasuki kegelapan juga.
Lalu, dapatkah kejahatan di tahan? dapatkah kejahatan dipenjara? Seorang penjahat dipenjara, dapatkah kejahatannya di penjara? Sebenarnya, hati yang pengasih dapat melawan kejahatan secara lebih efektif daripada tentara. Karena hati yang pengasih dapat membawa cahaya ketempat yang tiada cahaya. Sebetulnya, cahaya itu ada dimana-mana, tidak perlu menunggu orang lain. Hal-hal remeh seperti membuang paku yang tidak sengaja tergeletak dijalan saja adalah tanda bahwa anda sudah memasuki tingkat kesadaran yang lebih mumpuni dari teman-teman anda. Membantu orang lain, bersedekah, bahkan tersenyum pun tanda bahwa anda telah menyumbangkan cahaya kepada orang lain. Tentunya anda sendiri tahu karma positif apa yang akan datang bertubi-tubi kedalam hidup anda jika anda membuat hidup orang lain penuh cahaya juga.
Memahami kejahatan sebagai ketiadaan cahaya menuntut anda memeriksa lagi pilihan-pilihan hidup yang anda ambil apakah bergerak ke arah cahaya atau justru menjauhinya. Hal ini akan membuat anda berpikir, tempat yang paling tempat untuk memulai tugas mengurangi kejahatan adalah di dalam diri anda sendiri. Inilah tanggapan yang tepat terhadap kejahatan.
Bersambung……